"BERJUANG UNTUK KEBENARAN DAN KEADILAN"

Rabu, 02 Mei 2012

UU NO 13 TH 2003, BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB  XI
HUBUNGAN  INDUSTRIAL

Bagian  Kesatu
Umum

Pasal  102

(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.


(2) Dalam melaksanakan hubungan         industrial,        pekerja/buruh          dan serikat
pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta
ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya.

(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi
pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan
usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh
secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.


Pasal  103

Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi      pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 



Bagian  Kedua 
Serikat  Pekerja/Serikat  Buruh 

Pasal  104

(1)     Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.    

(2)     Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.

(3)     Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. 


Bagian Ketiga
Organisasi  Pengusaha

Pasal  105

(1)     Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.       

(2)     Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 
  

Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal  106

(1)     Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh  atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.   

(2)     Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi
sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan. 

(3)     Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.

(4)     Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga  Kerja Sama Tripartit

Pasal  107

(1)     Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat
kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan. 

(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari: 
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; dan 
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 

(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.

(4)  Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 





Bagian Keenam
Peraturan  Perusahaan

Pasal  108

(1)     Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 

(2)     Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku bagi perusahaan yang  telah memiliki perjanjian  kerja bersama.   


Pasal  109

Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.


Pasal  110

(1)  Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. 

(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh. 

(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. 



Pasal  111

(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat  :   
a.     hak dan kewajiban pengusaha;  
b.     hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c.     syarat kerja;
d.     tata tertib perusahaan; dan
e.     jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)  Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya. 

(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat
buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama, maka pengusaha wajib melayani.

(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap
berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.





Pasal  112

(1)     Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.

(2)     Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2),  maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.

(3)     Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk
harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan
peraturan perusahaan.

(4)     Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.


Pasal  113

(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan  wakil pekerja/buruh.

(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 


Pasal  114

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. 


Pasal  115

Ketentuan mengenai  tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan
diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama 

Pasal  116

(1)     Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

(2)     Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1) 
dilaksanakan secara musyawarah. 

(3)     Perjanjian  kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat
secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. 

(4)     Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan
bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut
dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).



Pasal  117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan,    maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 


Pasal  118

Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.



Pasal  119
(1) Dalam  hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila
memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.

(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya
pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).


Pasal  120 

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus)
dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.






(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.


Pasal  121

Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
dan Pasal 120  dibuktikan dengan kartu tanda anggota.


Pasal  122

Pemungutan  suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan
oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.


Pasal  123

(1)   Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.

(2)   Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis
antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.

(3)   Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga)  bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.

(4)   Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku
untuk  paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal  124

(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :   
a.  hak dan kewajiban pengusaha;
b.  hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c.  jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d.  tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

(2)  Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.   

(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan
yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan.


  
Pasal  125

Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja
bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.


Pasal  126

(1)     Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

(2)     Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian
kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.

(3)     Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama
kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.


Pasal  127

(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.

(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian
kerja tersebut batal demi hukum  dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian kerja bersama.
  
Pasal  128

Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama. 

 Pasal  129

(1)     Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan
perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat
pekerja/serikat buruh.

(2)     Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian
kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada
dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada
dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal  130

(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya  akan
diperpanjang  atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal
119.

(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat  lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu
berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan
atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan
membentuk tim perunding secara proporsional.

(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat  lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh
yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan  menurut ketentuan
Pasal 120  ayat (2) dan ayat (3).

 Pasal  131

(1)     Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

(2)     Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing
perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan
pekerja/buruh.

(3)     Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.


Pasal  132

(1)     Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut. 

(2)     Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian
kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.


Pasal  133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan,
dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.     


Pasal  134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.


Pasal  135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan
hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. 
  
Bagian  Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Paragraf   1
Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal  136

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat.

(2)  Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur
dengan undang-undang.

Paragraf   2
Mogok Kerja

Pasal  137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.


Pasal  138

(1)     Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan  tidak melanggar hukum.

(2)     Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan  tersebut. 



Pasal  139

Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.


 Pasal  140

(1)     Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat  buruh wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

(2)     Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.     waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b.     tempat mogok kerja;
c.     alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d.     tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.

(3)     Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.

(4)     Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat
mengambil tindakan sementara dengan cara:

a.     melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses
produksi; atau

b.     bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan. 


Pasal  141

(1)     Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan
mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.

(2)     Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan
timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para
pihak yang berselisih.

(3)     Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.

(4)     Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.

(5)     Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.





Pasal  142

(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139  dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.

(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal  143

(1)     Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.

(2)     Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal  144

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha  dilarang:
a.      mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b.      memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah
melakukan mogok kerja.

Pasal  145

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang  sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.


Paragraf   3
Penutupan Perusahaan (lock-out)

Pasal  146

(1)     Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai
akibat gagalnya perundingan.

(2)     Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh. 

(3)     Tindakan  penutupan  perusahaan (lock out)  harus dilakukan  sesuai  dengan 
ketentuan  hukum  yang berlaku.
Pasal  147

Penutupan perusahaan            (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan
yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan
keselamatan jiwa manusia,  meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat
pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas
bumi, serta kereta api.

Pasal  148

(1)     Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2)     Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.     waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
b.     alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3)     Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan. 


Pasal  149
(1)     Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari,
tanggal, dan jam penerimaan.

(2)     Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.

(3)     Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi. 

(4)     Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan  (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

(5)     Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau
dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

(6)     Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak
diperlukan apabila:





a.     pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140; 

b.     pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif
yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.



diunggah oleh triyono