"BERJUANG UNTUK KEBENARAN DAN KEADILAN"

Jumat, 30 Mei 2014

CARA MENGHITUNG PESANGON PHK

Jika di suatu Perusahaan mengalami  tutup /bangkrut, efisiensi atau hal-hal lain yang menyebabkan pengurangan tenaga kerja, maka perusahaan wajib memberikan kompensasi pesangon. Dalam pesangon PHK yang sering kita ingat adalah 1 PMTK / 2 PMTK. PMTK adalah singkatan dari Peraturan Mentri Tenaga Kerja. Sebenarnya istilah PMTK digunakan saat masih diberlakukan Kepmenaker 15/2000. Sejak diberlakukannya UUTK (Undang-undang Tenaga Kerja No. 13 th 2003) maka perhitungannya memakai UUTK, namun kita sudah familiar dengan sebutan PMTK.
Dalam UUTK No. 13 th 2003, perhitungan Pesangon diatur di:
1) Pasal 156 Ayat 2 UUTKRI tentang Uang Pesangon
2) Pasal 156 Ayat 3 UUTKRI tentang Uang Penghargaan Masa Kerja
3) Pasal 156 Ayat 4 UUTKRI tentang Uang Penggantian Hak

Maka jika dapat 2 PMTK adalah:
2 x Pasal 156 Ayat 2 UUTKRI tentang Uang Pesangon
1 x Pasal 156 Ayat 3 UUTKRI tentang Uang Penghargaan Masa Kerja
1 x Pasal 156 Ayat 4 UUTKRI tentang Uang Penggantian Hak.

Berikut tabel detailnya:
1. Uang Pesangon
MK (masa kerja) < 1 th        = 1 bulan gaji
MK (masa kerja) 1 th < 2 th = 2 bulan gaji
MK (masa kerja) 2 th < 3 th = 3 bulan gaji
MK (masa kerja) 3 th < 4 th = 4 bulan gaji
MK (masa kerja) 4 th < 5 th = 5 bulan gaji
MK (masa kerja) 5 th < 6 th = 6 bulan gaji
MK (masa kerja) 6 th < 7 th = 7 bulan gaji
MK (masa kerja) 7 th < 8 th = 8 bulan gaji
MK (masa kerja) 8 th atau lebih  =  9 bulan gaji

2. Uang Penghargaan Masa Kerja (MK)
MK 3 th < 6 th        = 2 bulan gaji
MK 6 th < 9 th        = 3 bulan gaji
MK 9 th < 12 th       = 4 bulan gaji
MK 12 th < 15 th      = 5 bulan gaji
MK 15 th < 18 th      = 6 bulan gaji
MK 18 th < 21 th      = 7 bulan gaji
MK 21 th < 24 th      = 8 bulan gaji
MK 24 th atau lebi    = 10 bulan gaji

3. Uang Penggantian Hak
a. cuti  tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%(limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja  bagi yang memenuhi syarat;        
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Mendapatkan uang pesangon bagi yang sudah siap adalah berkah dan bisa jadi modal usaha, tetapi bagi belum siap ???. Berusahalah untuk menjadi yang terbaik dimanapun Anda berada. Kalau kita berpikir positif, PHK bukan akhir dari segalanya, bukan kiamat kecil dalam hidup, justru jadi PHK titik awal kebangkitan, berjuang dan sukses dikemudian hari.

Salam solidaritas, solidaritas kuat, SPSI To be the Winner.

PUK SPKEP SPSI PT. INOAC POLYTECHNO INDONESIA

Triyono
Sekretaris II (Kesra)

Kamis, 22 Mei 2014

MENCERMATI TRIK TINDAKAN ANTI SERIKAT PEKERJA

oleh : SAEPUL TAVIP
Presiden OPSI

Pengantar

Kendati Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang kebebasan berserikat (freedom of association) telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia di tahun 1998 serta UU No 21 tahun 2000 telah lama disahkan, namun kenyataan di lapangan persoalan kebebasan berserikat masih menghadapi berbagai kendala yang sangat serius. Sikap kalangan Pengusaha terhadap keberadaan Serikat Pekerja masih sangat resisten. Pada umumnya mereka tidak suka dan tidak mau bila di Perusahaannya berdiri Serikat Pekerja.

Ini terkait dengan pandangan yang masih sangat miring terhadap serikat pekerja yang dianggapnya sebagai organisasi yang kerjanya menuntut dan jika tidak dipenuhi kerap melakukan aksi-aksi unjuk rasa, mogok atau demonstrasi.

Image yang buruk terhadap serikat pekerja ini diperkuat juga oleh peran mass media yang kerap memberitakan aksi-aksi unjuk rasa yang di belakangnya dimotori oleh Serikat Pekerja dan pasti yang diwawancara adalah Pemimpin Serikat Pekerjanya. Pemberitaan semacam ini semakin menimbulkan sikap alergi di kalangan Pengusaha. Akibatnya setiap upaya pembentukan serikat pekerja di tempat kerja kerap ditentang dengan berbagai cara.


Sebaliknya sangat jarang mass media memberitakan aktivitas serikat pekerja yang sangat konstruktif seperti kegiatan pendidikan dan pelatihan yang kerap dilakukan oleh sejumlah serikat pekerja, perundingan-perundingan dengan pihak Manajemen Perusahaan dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan di tempat kerja melalui cara-cara persuasif, seminar-seminar, diskusi-diskusi yang bertujuan menggali berbagai informasi yang valid dan akurat tentang berbagai isu ketenagakerjaan, penilitian-penelitian, publikasi dan lain sebagainya.

Di satu sisi, kebebasan berserikat juga masih dipandang sebagai sekedar memberi ruang kebebasan bagi pekerja untuk mendirikan Serikat Pekerja tanpa disertai itikad baik untuk membuka ruang perundingan bagi serikat pekerja dalam menetapkan syarat-syarat kerja (working condition) di tempat kerja yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Padahal Konvensi ILO No.98 sangat jelas akan adanya hak yang melekat dalam serikat pekerja untuk melakukan perundingan bersama (collective bargaining).

Sayangnya, tidak seperti Undang Undang Ketenagakerjaan (UUK) No.13 tahun 2003 dan Undang Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) No. 2 tahun 2004 yang begitu gencar disosialisasikan oleh Pemerintah melalui Instansi Depnakertrans (biasanya bekerja sama dengan sebuah event organizer atau konsultan) melalui berbagai acara Seminar, Lokakarya dan sebagainya, sepertinya UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 tahun 2000 kurang mendapat perhatian dan animo Pemerintah untuk secara intensif disosialisasikan dan dikampanyekan kepada kalangan Pengusaha. Termasuk juga penting dan manfaatnya serikat pekerja bagi pengusaha dalam menciptakan iklim kerja yang sehat dan kondusif di Perusahaan melalui kerja sama yang berlandaskan nilai-nilai kemitraan serta implikasi hukum jika mereka menghalang-halangi karyawannya dalam berserikat.

Akibatnya, yang ada di kepala para pengusaha adalah pemahaman yang selalu miring terhadap serikat pekerja dan upaya penghalangan kepada setiap usaha pekerja membentuk serikat pekerja.

Sementara penegakan hukum terhadap pelanggaran kebebasan berserikat masih sanggat lemah. Entah sudah berapa banyak laporan yang disampaikan kepada aparat penegak hukum (Kepolisian) dan Pengawas Ketenagakerjaan yang akhirnya kandas hanya dengan alasan klasik : tidak cukup bukti.

Ada sejumlah modus operandi atau boleh dibilang trick yang biasa dilakukan oleh kalangan Pengusaha dalam rangka menghambat pembentukan atau perkembangan serikat pekerja yang sering disebut sebagai tindakan anti serikat pekerja (anti union action) atau lebih dikenal dengan istilah Union Busting, antara lain yaitu :


1. Membentuk Serikat Pekerja tandingan
Cara ini boleh dibilang cukup efektif untuk menciptakan perpecahan dan konflik horizontal di kalangan pekerja. Di sejumlah perusahaan, Manajemen melalui kaki tanggannya - biasanya karyawan di level Manajer - membentuk SP ini untuk menandingi keberadaan SP genuine yang dibentuk dari oleh dan untuk pekerja.

Ciri-ciri dari SP ini adalah mereka lebih membela kepentingan Manajemen, tak mau membuat konflik dengan Manajemen, sarat oleh intervensi dan banyak mendapat fasilitas dari Manajemen serta dipimpin oleh orang-orang yang dekat dengan Manajemen, yaitu para penjilat setia. Yang pasti serikat pekerja ini cuma jadi bonekanya Manajemen.

Beberapa kasus bahkan menunjukkan upaya dari Serikat Pekerja Tandingan untuk menggagalkan usaha Serikat Pekerja yang genuine dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan pekerja. Tanpa malu-malunya mereka berani pasang badan.

2. Membentuk Club
Ada fenomena yang sekarang mulai berkembang, yaitu Manajemen tidak membentuk serikat pekerja tandingan, melainkan membentuk semacam Club karyawan yang tidak jarang fungsi dan peran yang dimainkannya hampir sama dengan serikat pekerja. Ini tentu saja untuk mengeleminir peran serikat pekerja yang ada yang pada akhirnya menimbulkan ketidak percayaan dari anggota.

Tidak jarang, pihak Manajemen lebih suka berkomunikasi dengan Club ketimbang dengan Serikat, dan kebanyakan pengurus Club berasal dari level Manajemen.

3. Mem-PHK Pengurus SP
Untuk membuat semacam shock terapi, Manajemen biasanya mencari-cari kesalahan dari para Pengurus SP untuk memuluskan niat mereka mem-PHK Pengurus. Tak jarang kesalahan-kesalahan yang dituduhkan terhadap Pengurus Serikat adalah kesalahan yang sudah lama terjadi tapi kemudian dikorek-korek. Atau kesalahan-kesalahan kecil yang diperbesar yang tentu saja mengarah kepada PHK.

Jika kesalahan tersebut sudah ditemukan, maka skorsing akan segera dijatuhkan. Bahwa kesalahan yang dituduhkan itu benar atau salah, bagi Manajemen itu masalah lain. Nanti saja dibuktikan di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), demikian biasanya mereka berkilah.

Pada situasi ini, bagi sejumlah Pengurus yang tidak cukup memiliki daya tahan mental dan kesabaran biasanya mereka menyerah begitu saja. Padahal tuduhan melakukan pelanggaran berat belum tentu benar

Bagi anggota pengaruhnya secara psikologis sangat luar biasa. Mereka beranggapan, jika pengurus saja bisa di-PHK, apalagi mereka yang anggota. Maka tidak heran jika mereka kemudian berbondong-bondong mengundurkan diri dari keanggotaan dan mencari selamat sendiri-sendiri.


4. Mutasi Pengurus
Dengan berdalih bahwa mutasi adalah hak prerogative Manajemen, maka tidak jarang langkah ini dilakukan untuk memecah belah kesatuan dan kesolidan Pengurus yang semula sangat mudah, bertemu, berinteraksi dan berkoordinasi, karena mutasi menjadi sangat sulit hal itu dilakukan.

Tak jarang pula mutasi dilakukan ke daerah yang sangat jauh. Penolakan dengan alasan pertimbangan keluarga, waktu untuk mutasi yang terlalu mepet, apalagi dengan alasan karena jadi Pengurus dan berindikasi adanya tindakan anti Serikat, sangat sulit untuk dipertimbangkan dan diterima oleh Manajemen. Mutasi mau tidak mau, suka tidak suka harus dijalankan.

Selain mutasi ke daerah yang jauh, sering juga mutasi dilakukan ke posisi yang sangat tidak nyaman yang sering tidak sesuai dengan kemampuan dan keahlian dari pengurus yang bersangkutan. Misalnya posisi yang menerapkan target-target tertentu dalam pekerjaan yang sesungguhnya tidak akan mungkin dicapai atau tidak memenuhi target. Sehingga pada situasi seperti ini, pihak Manajemen memiliki alasan untuk mem-PHK yang bersangkutan.

Kalaupun penolakan atas mutasi kemudian diperselisihkan, sangat jarang pihak Depnaker mengabulkan penolakan tersebut Malah sebaliknya menyetujui langkah Manajemen dengan alasan bahwa mutasi adalah hak prerogatifnya Manajemen. Padahal sesungguhnya di balik itu, hal tersebut nyata-nyata merupakan tindakan anti Serikat yang dibungkus dengan hak mutasi.

5. Tekanan melalui atasan langsung / Kepala Cabang
Barangkali adagium yang mengatakan bahwa bawahan harus tunduk dan patuh pada atasan apapun instruksi yang dikeluarkannya, walau bertentangan dengan hukum sangat tepat untuk menggambarkan langkah-langkah penekanan yang dilakukan oleh para atasan langsung dari anggota Serikat Pekerja agar keluar dari Serikat Pekerja

Dengan intruksi yang dikeluarkan oleh Top Manajemen, para Manager/Kepala Cabang memanggil orang per orang dari anggota Serikat Pekerja. Menanyakan apakah mereka anggota Serikart Pekerja, jika iya maka tekanan agar mereka keluar dari Serikat Pekerja mulai dilakukan. Biasanya hal yang disampaikan oleh para Manager/Kepala Cabang adalah hal-hal yang buruk tentang Serikat Pekerja disertai pertanyaan “Mau ikut Serikat Pekerja atau mau ikut Perusahaan ?”, yang tentu saja bisa menimbulkan keraguan dan ketakutan di kalangan anggota khususnya bagi mereka yang kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang serikat pekerja, terlebih lagi bagi mereka yang bermental “safety player”

Akibatnya mereka mudah sekali terpengaruh dan akhirnya memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Serikat Pekerja. Bahkan ada di sejumlah perusahaan, secara terencana dan sistematis menyiapkan formulir pengundurang diri.

Langkah semacam ini bisa disebut sebagai stigmatisasi terhadap serikat pekerja.


6. Memberikan volume pekerjaan yang bertumpuk
Membiarkan para pengurus aktif dan banyak mencurahkan waktunya di dalam kegiatan serikat pekerja, kiranya menjadi perhatian serius sekaligus kekhawatiran yang luar biasa bagi Manajemen dalam melihat pertumbuhan dan perkembangan Serikat Pekerja. Maka untuk menghambat gerak laju para aktivis atau pengurusnya agar tidak terlalu banyak waktunya untuk mengurusi Serikat Pekerja, maka cara yang biasa dilakukan adalah dengan memberikan volume pekerjaan yang lebih banyak.

Dengan demikian, maka akan semakin sedikit perhatian, waktu, tenaga dan pikiran dari para pengurus untuk mengembangkan serikat pekerja. Menolak tugas-tugas/pekerjaan yang diberikan kepadanya, berarti menolak perintah atasan yang seringkali dikategorikan sebagai kesalahan berat dan ini akan memudahkan pihak Manajemen untuk mengeluarkan surat peringatan terakhir atau mungkin juga skorsing yang mengarah kepada PHK.

7. Memberikan Promosi Kepada Pengurus
Cara ini boleh dikatakan sebagai cara yang paling halus untuk memperlemah gerakan serikat pekerja. Bagi pengurus yang kurang memiliki komitmen dan integritas moral, mendapat promosi adalah kesempatan yang biasanya tidak disia-siakan.

Kendati serikat pekerja tidak pernah melarang bahkan mendukung siapapun untuk mengembangkan karirnya dan mendapat kesempatan promosi, namun tetap harus dicermati secara jeli kalau promosi tersebut bernuansa anti serikat pekerja.

Karena biasanya, pada saat posisi yang lebih tinggi, mereka dihadapkan pada situasi yang sulit untuk berpihak kepada serikat pekerja karena adanya conflict of interest. Artinya, pihak menajemen berhasil menempatkan Pengurus tersebut pada posisi di pojok ruangan yang penuh dilematis. Yang tidak lagi bisa berkutik, apa lagi jika yang bersangkutan kurang pandai bermain untuk tetap bisa menunjukkan komitmennya terhadap serikat pekerja.

Namun, dari banyak kasus-kasus promosi, sangat jarang ditemukan seseorang yang semula menjadi aktivis, masih mau menunjukkan komitmennya dan tetap aktif di dalam gerakan serikat pekerja.

Bahkan ada ungkapan yang sangat miring bahwa mereka-mereka yang berhasil mendapat promosi sesungguhnya cuma menjadikan Serikat Pekerja sebagai batu loncatan saja. Dulu sewaktu masih aktif di Serikat Pekerja, orang-orang ini begitu vokalnya menentang setiap kebijakan Perusahaan. Namun sekarang setelah menduduki jabatan yang enak, tak kedengaran lagi suaranya, menghilang ditelan bumi.

Namun, di sisi lain ada juga pandangan yang cukup positif yaitu bahwa serikat pekerja bukanlah tempat orang-orang bermasalah, melainkan orang-orang yang berprestasi.

8. Perlakuan diskriminatif
Membuat pengurus dan anggota Serikat Pekerja kegerahan adalah dengan memberikan perlakuan yang berbeda dari yang non anggota dalam hal penilaian prestasi kerja, kenaikan gaji, fasilitas, promosi dan lain sebagainya. Bagi yang tidak cukup memiliki daya tahan terhadap tantangan semacam ini, tidak jarang membuat sebagian pengurus dan sebagian anggota berfikir dua kali untuk tetap menjadi pengurus atau anggota Serikat Pekerja.

Sering kita saksikan seorang Pengurus bertahun-tahun berada pada posisi yang sama tanpa diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya di tempat lain. Juga nilai pretasi kerja yang kurang menggembirakan walau yang bersangkutan telah bekerja dengan baik. Akibatnya, dengan nilai prestasi yang rendah, nilai kenaikannya pun menjadi rendah.


Sesungguhnya setiap tindakan Manajemen yang menimbulkan ketidak-nyamanan dalam bekerja termasuk perlakuan diskriminatif bisa dipermasalahkan atau diperselisih-
kan. Cuma banyak pekerja yang tidak tahu. Mereka sesungguhnya kecewa, tidak bisa terima, namun diam saja, tidak berani menyampaikan keluhannya. Akibatnya, langkah
pragmatis yang dilakukan adalah dengan tidak lagi menjadi pengurus atau anggota serikat pekerja. Namun mereka lupa, bahwa suatu ketika dan kapan saja mereka bisa dihadapkan oleh permasalahan yang jauh lebih besar yang dapat mengancam kelangsungan kerjanya. Nah, pada situasi seperti ini, biasanya baru terpikir lagi oleh mereka bahwa serikat pekerja itu memang sangat dibutuhkan, terutama untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang jauh lebih besar dan mendasar.

9. Meminta data keanggotaan
Tidak salah memang jika pihak Manajemen meminta keanggotaan Serikat Pekerja. Namun yang jadi persoalan adalah bila data tersebut digunakan untuk melakukan penekanan kepada karyawan yang menjadi anggota agar keluar dari Serikat Pekerja. Hal ini yang sering menjadi kekhawatiran kalangan Serikat Pekerja dan hal ini pula yang sering terjadi.

10. Kriminalisasi
Masih ingat pasal karet di dalam UU Pidana yang menyangkut tindakan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan ? Ya, dengan pasal itu, aktivis serikat pekerja bisa dipidanakan dan diseret ke pengadilan.

Kasus Ngadinah dari PT. Panarub beberapa waktu yang lalu, kiranya cukup memberikan bukti bahwa apapun bagi pihak Manajemen bisa dijadikan cara untuk menghambat pergerakan serikat pekerja di perusahaannya. Cara ini bisa disebut sebagai shock therapy agar para karyawan tidak macam-macam.

Mengingat pasal tersebut adalah pasal karet, maka sangat mungkin tuduhannya menjadi sangat sumir/absurd. Namun karena ada ruang untuk melaporkannya ke pihak Kepolisian, maka ini sudah cukup memberikan daya kejut yang luar biasa bagi kalangan aktivis serikat pekerja khususnya bagi mereka yang jarang-jarang berurusan dengan pihak Kepolisian.

Tidak jarang, surat panggilan dari Kepolisian tersebut diantar langsung oleh aparat kepolisian ke rumah seorang aktivis dengan pakaian berseragam lengkap. Bisa dibayangkan kekagetan dari seluruh penghuni rumah. Belum lagi tanggapan dari para tetangga yang melihatnya.

11. Melakukan intervensi terhadap urusan intern SP
Ada-ada saja cara Manajemen untuk terus merongrong keberadaan Serikat Pekerja. Mengotak-atik kandungan AD/ART, mempertanyakan legitimasi para pengurus, menanyakan berita acara pembentukan serikat pekerja dan sebagainya.

Bagi sementara aktivis Serikat Pekerja yang belum cukup paham dengan trik semacam ini, tidak jarang membuat mereka menjadi gamang untuk terus mengerakan roda organisasinya. Seakan dengan manuver-manuver dari Manajemen seperti itu SP dianggap tidak lagi memiliki legitimasi. Padahal sesungguhnya legitimasi SP ditentukan oleh pengakuan anggota terjhadap SP, bukan pengakuan Manajemen. Karena mendirikan SP tidak memerlukan persetujuan ataupun pengakuan dari Manajemen.

Oleh karenanya, jika ada Manajemen yang mencoba mengutak-utik hal-hal tersebut, maka SP harus menentukan sikap dengan berkirim surat resmi ke Manajemen dan mengatakan bahwa sesuai UU No.21 tahun 2000, Manajemen harus menghormati urusan-urusan intern SP dan tidak diperbolehkan untuk melakukan intervensi. Karena jika itu dibiarkan, maka hal ini akan menjadi preseden buruk dan selamanya mereka akan terus mengutak-atik urusan intern SP.


12. Tidak mengacuhkan surat-surat SP
Meski SP telah berkali-kali berkirim surat, untuk sesuatu permintaan (pertemuan, perun dingan, klarifikasi dan lain sebagainya) tidak jarang Manajemen enggan atau memang tidak mau sama sekali memberikan tanggapan/balasan terhadap surat-surat tersebut.

Kondisi ini kerap membuat rekan-rekan SP menjadi kehilangan motivasi. Menganggap bahwa SP tidak mendapat legitimasi di depan mata Manajemen. Padahal sesungguhnya legitimasi didapat berdasarkan pengakuan dari para karyawan yang menjadi anggota, bukan dari Manajemen yang cenderung tidak menyukai adanya SP di Perusahaan.

Sesungguhnya, atas surat-surat yang tidak ditanggapi tersebut, SP bisa saja membawa permasalahannya ke Depnaker, meminta pihak Depnaker untuk menengahinya, agar pihak Manajemen bisa lebih bersikap kooperatif dengan membuka ruang-ruang dialog, baik secara face to face maupun melalui surat menyurat.

Masih banyak lagi cara-cara Manajemen dalam menghambat, memperlemah bahkan kalau bisa mematikan serikat pekerja di Perusahaan, seperti tidak menanggapi ajakan berunding PKB, melakukan kekerasan melalui preman dan lain sebagainya.

Menghadapi berbagai tekanan sebagaimana digambarkan di atas, maka proses pengorganisasian yang dimaksudkan untuk memperluas keanggotaan serikat pekerja, memperkuat kesadaran dan tradisi berserikat di kalangan pekerja, meningkatkan efektivitas kerja SP, membangun team work yang solid, membuka network yang luas, mempelajari produk-produk hukum ketenagakerjaan dan merubah image bahwa SP bukanlah trouble maker melainkan mitra yang bisa diajak bekerja sama, harus secara intensif dilakukan.

Lemahnya upaya-upaya pengorganisasian, tak jarang membuat SP mandul, tak berdaya bahkan mati sendiri. Artinya kendala tersebut sesungguhnya datang dari dalam SP sendiri.

Dari uraian di atas, maka serikat pekerja harus tetap menunjukkan kewaspadaan dan kesigapannya dalam menghadapi berbagai tekanan Manajemen seraya terus mengupayakan langkah-langkah pengorganisasian agar serikat pekerja dapat tetap eksis dan memainkan kiprahnya sebagai organisasi yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja dan mensejahterakan pekerja, Semoga …!!!

ONE WORLD, ONE VOICE SOLIDARITY


Catatan: Penulis adalah Presiden OPSI: Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia.

(Sumber : http://sekarindosiarbergerak.blogspot.com/2010/07/mencermati-trik-tindakan-anti-serikat.html)

Senin, 19 Mei 2014

DASAR HUKUM BERSERIKAT

Berikut adalah dasar-dasar hukum dalam berorganisasi / berserikat:

1). UUD 1945
     a. Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan dan 
         tulisan ditetapkan dengan Undang-undang”
     b. Pasal 28 D (2) “Setiap orang berhak untuk berkerja serta mendapatkan imbalan dan
         perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

2). Konvensi ILO
     a. No.87 Tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak  berorganisasi.
b. No.98 Tentang berlakunya dasar-dasar dari pada berorganisasi dan untuk berunding bersama.


3) UU No. 21 th 2000 pasal 28, 29, dan 43.


UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2000
TENTANG
 SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

BAB VII
PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI
Pasal 28

            Siapapun dilarang menghalang‑halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
a.       melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b.         tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c.         melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d.         melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 29

(1)        Pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama.
(2)             Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur mengenai :
            a.    jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;
            b.    tata cara pemberian kesempatan;
            c.    pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah.


Pasal 43

(1)    Barang siapa yang menghalang‑halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)       Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.



Note: Pelanggaran terhadap Pasal 28 bisa dalam kategori UNION BUSTING.


(oleh: triyono, sumber UU No 21 th 2000)