BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal
150
Ketentuan
mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau
tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik
swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
Pasal
151
(1) Pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam
hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Dalam
hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan
persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan
hubungan industrial.
Pasal
152
(1) Permohonan
penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang
menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan
penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan
atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan
oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud
untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut
tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal
153
(1) Pengusaha
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
yang berlaku;
c. pekerja/buruh
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh
menikah;
e. pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;
f. pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian
kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh
mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh
di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha,
atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena
perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam
ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh
yang bersangkutan.
Pasal
154
Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
a. pekerja/buruh
masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara
tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh
mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama
kali;
c. pekerja/buruh
mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan;
atau
d. pekerja/buruh
meninggal dunia.
Pasal
155
(1) Pemutusan
hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151
ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan,
baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan
segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha
dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang
sedang
dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar
upah
beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal
156
(1) Dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang
seharusnya diterima.
(2) Perhitungan
uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
sebagai
berikut:
a.
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2
(dua)
bulan
upah;
c.
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan
upah;
d.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat)
bulan
upah;
e.
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima)
bulan
upah;
f.
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam)
bulan
upah;
g.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh)
tahun, 7 (tujuh)
bulan
upah.
h.
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)
tahun, 8
(delapan)
bulan upah;
i.
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan
uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan
sebagai berikut :
a.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2
(dua)
bulan
upah;
b.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)
tahun, 3
(tiga)
bulan upah;
c.
masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas)
tahun,
4
(empat) bulan upah;
d.
masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun,
5 (lima) bulan upah;
e.
masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)
tahun,
6 (enam) bulan upah;
f.
masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluh
satu)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g.
masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(duapuluh
empat)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.
masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

(4) Uang
penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(1) meliputi:
a.
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh
diterima bekerja;
c.
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(limabelas
perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja
bagi yang memenuhi
syarat;
d.
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian
kerja bersama.
(5) Perubahan
perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa
kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3),
dan
ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal
157
(1) Komponen
upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan
masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda,
terdiri atas :
a. upah
pokok;
b. segala
macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh
dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan
kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar
pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih
antara
harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam
hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,
maka
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam
hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan
atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan
rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan
ketentuan
tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota.
(4) Dalam
hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan
pada
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata
12
(dua belas) bulan terakhir.
Pasal 1)
(1)
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dengan
alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai
berikut:
a.
melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik
perusahaan;
b.
memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
1) Berdasarkan
Keputusan Mahkamah Konstitusi RI No.012/PUU-I/2003 tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.

c.
mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau
mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan
kerja;
d.
melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.
menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f.
membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.
dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h.
dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i.
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.
melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2)
Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung
dengan
bukti sebagai berikut:
a. pekerja/buruh
tertangkap tangan;
b. ada
pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti
lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang
di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya
2 (dua) orang saksi.
(3)
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian
hak
sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4)
Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan
fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain
uang
penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan
uang
pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 2)
Apabila
pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 3)
(1) Dalam
hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak
pidana bukan
atas pengaduan pengusaha maka pengusaha tidak
wajib
membayar
upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang
menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk
1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus)
dari upah;
-------------------------------
2) Berdasarkan
Keputusan Mahkamah Konstitusi RI No.012/PUU-I/2003 tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
3) Berdasarkan
Keputusan Mahkamah Konstitusi RI No.012/PUU-I/2003, sepanjang mengenai anak
kalimat ”.......... bukan
atas
pengaduan pengusaha ........” tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
b. untuk
2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus)
dari upah;
c. untuk
3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus)
dari upah;
d. untuk
4 (empat) orang tanggungan atau lebih :
50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6
(enam)
bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak
yang berwajib.
(3) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
yang
setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya
karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat(1).
(4) Dalam
hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah,
maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam
hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir
dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat
melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan
tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha
wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang
penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian
hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal
161
(1) Dalam
hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan
diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut.
(2) Surat
peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku
untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1
(satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal
156 ayat (4).
Pasal
162
(1) Pekerja/buruh
yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi
pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain
menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan
uang
pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh
yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus
memenuhi syarat :
a. mengajukan
permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya
30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak
terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap
melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan
hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan
tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal
163
(1) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dalam
hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan
perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja,
maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai
ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).
(2) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena
perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan
pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka
pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
dalam
Pasal
156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal
164
(1) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara
terus
menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force
majeur),
dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156
ayat (4).
(2) Kerugian
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan
dengan
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh
akuntan publik.
(3) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut
atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur)
tetapi perusahaan
melakukan
efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar
2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal
165
Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
Pasal
166
Dalam
hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya
diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan
perhitungan
2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu)
kali
uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal
167
(1) Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena
memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan
pekerja/buruh
pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha,
maka
pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(3),
tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
(2) Dalam
hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program
pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil
daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh
pengusaha.
(3) Dalam
hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program
pensiun
yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka
yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang
premi/iurannya
dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat
diatur
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
(5) Dalam
hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha
wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2
(dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156
ayat (4).
(6) Hak
atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat
(3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua
yang
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
168
(1) Pekerja/buruh
yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan
secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil
oleh
pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan
kerjanya
karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan
tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus
diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk
bekerja.
(3) Pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh
yang
bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156
ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal
169
(1) Pekerja/buruh
dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan
perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya,
menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk
dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak
membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan
berturut-turut atau lebih;
d. tidak
melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e. memerintahkan
pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan;
atau
f. memberikan
pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan
pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian
kerja.
(2) Pemutusan
hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pekerja/buruh
berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat
(2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),
dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam
hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa
penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dan
pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai
ketentuan
Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan
Pasal
156 ayat (3).
Pasal
170
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat
(3)
dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162,
dan Pasal
169
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang
bersangkutan
serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal
171
Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang
bersangkutan
tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka
pekerja/buruh
dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan
industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan
pemutusan
hubungan kerjanya.
Pasal
172
Pekerja/buruh
yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat
kecelakaan
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12
(dua
belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang
pesangon
2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2
(dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali
ketentuan
Pasal
156 ayat (4).
sumber: http://www.depnakertrans.go.id
diunggah
oleh triyono